Rabu, 06 Juni 2012

LP APENDISITIS

APENDISITIS


A.    Konsep Dasar
1.      Pengertian
Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks veriformis atau umbai cacing jenis yang akut dan merupakan penyebab umum dari abdomen akut.
2.      Anatomi dan fisiologi
Saluran pencernaan berfungsi sebagai penerima makanan dan mempersiapkan untuk diasimilasi oleh tubuh . Saluran pencernaan terdiri atas: mulut, faring, oesofagus, lambung, dan usus halus yang terdiri dari duedonum, yeyunum dan ileum, usus besar : seikum, appendiks, colon desenden , colon tranversum, colon sigmoid, rectum, anus .
a.      Anatomi Apendiks
Merupakan organ berbentuk tabing , panjang kurang lebih 10 cm dan berpangkal diseikum lumennya sempit dibagian proximal dan melebar dibagian distal apendiks dilapisi oleh lapisan sub mukosa yang mengandung banyak jaringan limfe .
Apendiks diperdarahi oleh arteri apendikular . Pada posisinya yang normal apendiks terletak pada dinding abdomen dibawah titik Mc Burney.
b.      Fisiologi
  Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke seikum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.
Immunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT ( Gut Associated Lymphoid Tissue ) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks , ialah IgA immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.

3.      Klasifikasi
Appendisitis dibagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu :
a.       Appendisitis akut : yaitu peradangan yang terjadi pada umbai cacing secara mendadak dan meluas melalui peritoneum parietal sehingga timbul rasa sakit yang mendadak.
b.      Appendisitis infiltrat peradangan umbai cacing yang melekat pada dinding perut.
c.       Appendisitis kronis peradangan appendiks yang terjadi secara menahun yang merupakan kelanjutan appendiks infiltrat yang tidak mendapat pengobatan dan perawatan intensif sehingga gejalanya menghilang dan suatu saat akan timbul lagi gejala tersebut.
d.      Appendisitis abses yaitu kelanjutan dari appendicitis kronis yang kurang perawatannya dan  kuman cukup ganas sehingga menimbulkan abses. 
4.      Apendiksitis disebabkan oleh :
a.       Fekalit
b.      Streptococcus
c.       Cacing ascariasis
d.      Hyperplasia jaringan limfe
e.       Trauma daerah abdomen
f.       Adanya fekalit dalam lumen appendiks karena penyumbatan feces, lumen melebar dan mengadakan perangsangan terhadap pembuluh darah.
5.      Patofisiologi
Obstruksi pada appendiks mengakibatkan mucus yang produksi mukus terbendung, makin lama makin banyak dan menekan dinding appendiks menjadi edema dan merangsang tunika serosa dan perineum visceral, oleh karena persyarafan appendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan sakit disekitar umbilicus. Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri dan menjadi nanah kemudian timbul gangguan aliran vena peradangan meluas mengenai peritoneum parietal setempat sehingga menimbulkan rasa sakit pada perut kanan bawah, sekresi mucus terus berlangsung dan tekanan intra lumen yang meningkat dan melalui dinding appendiks yang ganggren terjadi perforasi dan akumulasi pus di lumen keluar ke intra peritoneal, nyeri bertambah dan klien nyeri perut  kanan bawah kemudian keseluruh abdomen. 
6.      Tanda dan gejala
Gejala klinis pada appendisitis adalah nyeri perut. Pada mulanya nyeri perut ini hilang timbul seperti kolik dan terasa disekitar umbilicus, bila penderita platus atau BAB rasa sakitnya akan berkurang, bila proses radang telah menjalar ke peritonium parietal setempat, maka akan timbul nyeri local pada perut kanan bawah daerah Mc Burney bila terjadi perforasi untuk sementara rasa sakit ynag hebat diseluruh perut. Anoreksi hampir selalu terdapat dan muntah merupakan hal yang khas.
Biasanya terjadi konstipasi tetapi pada anak-anak dan pada penderita yang appendiks dekat rectum sering terjadi diare. Gejala umum lainnya adalah demam mula-mula demam tidak begitu tinggi tetapi menjadi hiperpireksi bila terjadi perforasi.
7.      Pemeriksaan fisik
a.       Sikap dan posisi penderita sudah menunjukkan kearah ke curigaan kalau disuruh bergerak ia akan melakukannya dengan hati-hati karena takut sakit. Pergerakan dinding perut sebelah kanan mungkin tertinggal dari yang kiri.
b.      Pengukuran suhu akan menunjukan angka sekitar 37-38 derajat celcius perbedaan suhu ketiak dan rectal lebih dari 1 derajat celcius akan menyokong diagnosis.
c.       Pemeriksaan pada perut akan menunjukkan nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri ketok,” defence musculair” setempat nyeri kontra lateral ( tanda Rovsing: menekan perut kiri kebawah maka yang sakit perut kanan bawah ). Tes Psoas kanan positif ( rasa sakit bila dengan fleksi pada lutut dan panggul tungkai atas kanan diendo rotasikan ).
d.      Rectal toucher penting untuk membedakan kelainan pelvis yang lain.
8.      Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan darah rutin akan menunjukan lekostosis ringan dan hitung jenis bergeser kekiri pada perforasi terjadi lekositosis yang lebih tinggi.
Pemeriksaan urine penting untuk membedakan appendicitis dengan kelainan ginjal, kadang-kadang ditemukan lekosit pada urine penderita appendicitis.
Pemeriksaan photo polos abdomen tidak menunjukan tanda pasti appendicitis tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan. Adanya fekolit merupakan hal ini sangat jarang ditemukan udara dibawah diafragma menunjukan adanya perforaasi.
9.      Penatalaksanaan
a.       Appendisitis infiltrat.
·         Ukuran kurang dari 5 cm : operasi
·   Ukuran lebih dari 5 cm : konservatif (terapi obat – obatan )
b.      Appendisitis akut :Appendektomi.
c.       Appendisitis perforasi :appendektomi perlaparatomi.
Penatalaksanaan Appendektomi.
1)      Tindakan pre operative
Penderita dirawat, diberikan antibiotik dan kompres untuk menurunkan suhu badan penderita. Bilas terlihat adanya gangguan keseimbangan cairan maka segera diberikan cairan parenteral Nacl 0,9 % sesuai dengan keadaan hidrasi, berikan sedatif intramuskular. Daerah perut bawah dan pubis dibersihkan dan dicukur. Premedikasi diberikan 30 menit sebelum rencana dioperasi dilakukan diberikan petidin, sulfas atropin dan DBP.
2)      Tindakan operatif Appendektomi.
3)      Tindakan post operatif.
Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam. Syok hyperemi dan gangguan pernapasan angkat sonde lambung bila penderita telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Kemudian baringkan penderita pada posisi fowler penderita dapat dikatakan baik bila dalam 2 jam tidak terjadi gangguan dan selama itu pasien puasa bila tindakan operasi besar yaitu perforasi atau peritonitis umum maka puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal, kemudian berikan  minum mulai 15 ml/ jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring dan berikutnya makanan lunak. Satu hari pasca bedah penderita dianjuran untuk duduk tegak ditempat selama 2 x 30 menit. Hari kedua pasca bedah dapat berdiri dan duduk diluar kamar hari ketujuh pasca bedah luka operasi dapat di angka dan penderita boleh pulang.
Merawat luka post  appendektomi dengan tehnik aseptik dan anti septic untuk mencegah terjadinya infeksi.
B.     Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan merupakan kerangka kerja perawat saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Proses keperawatan merupakan pendekatan kerja yang sistematis terorganisasi, fleksibel dan berkelanjutan. Tahap – tahap dalam proses keperawatan saling ketergantungan satu dengan lainnya dan bersifat dinamis dan disusun secara sisematis untuk menggambarkan  perkembangan dari tahap yang satu ketahap yang lain.
1.      Pengkajian
Pengkajian adalah  pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data baik subyek maupun obyek, adapun tujuan pengkajian adalah  memberikan gambaran yang terus menerus mengenai kesehatan pasien.
Pada tahap pengkajian ini ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan antara lain :
a.      Mengumpulkan tentang data pasien
Data dasar adalah data yang menyangkut semua aspek dari pasien yang terdiri dari data – data biografi, keluhan utama, riwayat sebelum sakit, riwayat penyakit sekarang, riwayat kesehatan keluarga, riwayat kesehatan lingkungan keadaan psiksosisal dan aspek spiritual biasanya data dasar ini diperoleh pada saat pertama kali perawat kontak dengan  pasien. Sedangkan data yang difokuskan kepada pasien masalah kesehatan pada saat itu adalah:
1)                                                Aktivitas / istirahat dengan gejala malaise.
2)                                                Sirkulasi darah memperlihatkan tanda takikardi.
3)      Eliminasi dengan gejala konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang) serta tanda distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan/tidak ada bising usus.
4)      Integritas ego dengan gejala perasan cemas, takut marah, apatis, faktor-faktor stress multiple , misalnya finansial, hubungan gaya hidup , disertai dengan  tanda tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan peka rangsang, stimulai simpatis.
5)      Makanan / cairan anoreksia , mual/muntah.
6)      Nyeri / kenyamanan dengan gejala nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc Burney ( setengah jarak antara umbilicus dengan tulang ileum kanan ) meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam ( nyeri tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada appendisitis ). Kalau berbagai rasa nyeri / gejala tak jelas ( sehubungan dengan lokasi appendiks, contoh retrosekal atau sebelah ureter ) dengan perilaku berhati-hati berbaring kesamping atau terlentang dengan lutut ditekuk meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak, nyeri lepas pada sisi kiri di duga inflamasi peritoneal.
7)      Keamanan tandanya demam biasanya rendah. Pernafasan tandanya takipnea, pernapasan dangkal.
8)      Penyuluhan atau pembelajaran riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri abdomen contoh pielitis acut batu uretra, salpingitis acut,ileitis regional.
b.      Mentabulasi data
      Data yang telah dikumpulkan selanjutnya ditabulasi.
c.       Menganalisa data
Data yang telah ditabulasi segera dianalisa sehingga didapati kesimpulan yang dirumuskan dalam bentuk diagnosa keperawatan.
2.      Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan didapat setelah data-data yang terkumpul dianalisa, diagnosa keperawatan pada dasarnya adalah kesimpulan dari masalah kesehatan yang dialami klien. Diagnosa keperawatan merupakan uraian atau penafsiran tentang masalah kesehatan dimana perawat dapat menanganinya dalam bentuk tindakan kepeawatan yang ditujukan untuk mencegah, mengatasi atau mengurangi masalah tersebut.
Berdasarkan rumusan masalah diagnosa keperawatan yang biasanya sering dijumpai paa penderita appendesitis acut pre dan post operasi adalah :
a.  Gangguan rasa nyaman nyeri akut berhubungan dngan adanya peradangan pada appendiks.
b. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan efek anestesi   immobolisasi post operasi dan nyeri abdomen pada luka operasi.
c. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan  berhubungan dengan kurangnya penjelasan, mis interpretasi informasi dan tidak familiar dengan sumber informasi.
d.      Resiko terjadi defisit volume cairan berhubungan dengan anoreksia, muntah dan tidak minum pada keadaan  sebelum dan sesudah operasi .
e.       Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh , adanya perforasi pada appendiks , peritonitis timbulnya abses dan prosedur pembedahan.
3.      Perencanaan keperawatan
Saat menentukan rencana asuhan keperawatan disesuaikan dengan urutan diagnosa keperawatan yang sudah diprioritas.
a.       Gangguan rasa nyaman nyeri akut berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi, adanya insisi bedah,. Kemungkinan dibuktikan oleh laporan nyeri, wajah mengkerut otot tegang, perilaku distraksi respon otomatis, dengan hasil / tujuan yang diharapkan keadaan nyeri hasil/berkurang dengan kriteria hasil tampak rileks, mampu tidur/istirahat dengan tepat. Dengan rencana tindakan : kaji tingkat nyeri, catat lokasi nyeri, karakteristik beratnya (skala 0-10 ), selidiki dan laporkan perubahan nyeri yang tepat. Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler, dorong ambulasi dini, berikan aktivitas hiburan. Kolaborasi pertahankan puasa/persiapan NG pada awal , berikan analgesik sesuai indikasi, berikan kantong es pada abdomen.
b.      Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan peningkatan ekspansi paru, neuromuscular, efek anastesi, immobilisasi post operasi dan nyeri abdomen pada luka operasi ditandai dengan perubahan pada frekuensi dan kedalaman pernapasan , pengurangan kapasitas vital, apnea, sianosis, pernapasan yang gaduh. Dengan kriteria yang diharapkan menetapkan pola napas yang normal, efek dan bebas dari sianosis atau tanda – tanda hipoksia lainnya . Dengan rencana tindakan/intervensi pertahankan jalan udara pasien dengan memiringkan kepala, hiperekstensi rahang, aliran udara faringeal oral, auskultasi suara napas. Observasi frekuensi dan kedalaman pernapasan pantau tanda – tanda vital, letakkan pasien pada posisi yang sesuai observasi pengembalian fungsi otot, terutama otot pernapasan, lakukan gerak sesegera mungkin, observasi terjadinya samnolen yang berlebihan, lakukan pengisapan lendir jika diperlukan. Kolaborasi dalam pemberian oksigen , obat-obatan,   alat bantu pernapasan.
c.       Kurang pengetahuan tentang kondisi , prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya penjelasan, mis interpretasi informasi dan tidak familiar dengan sumber infomasi ditandai dengan pertanyaan informasi, menyatakan masalah/perhatian, menyatakan salah konsepsi tidak tepat mengikuti instruksi, komplikasi yang dapat dicegah. Dengan hasil yang diharapkan menyatakan pemahaman proses penyakit pengobatan dan potensial komplikasi, berpartisipasi dalam pogram pengobatan. Dengan rencana tindakan / intervensi; Kaji ulang pembatasan aktivitas pasca operasi, dorong aktivitas sesuai dengan toleransi berikan penjelasan sesuai yang diperlukan.
d.      Resiko terjadi defisit volume cairan berhubungan dengan anoreksia muntah dan tidak minum pada keadaan sebelum dan sesudah operasi ditandai dengan muntah pre operasi, pembatasan pasca operasi, status hipermetabolik, inflamasi peritoneum dengan cairan asing. Hasil yang diharapkan mempertahankan keseimbangan cairan dibuktikan oleh kelembaban membran mukosa, turgor kulit baik, tanda vital stabil dan secara individual haluaran urin adekuat ,dengan rencana tindakan/intervensi  monitor vital sign, lihat membran mukosa kaji turgor kulit dan pengisian kapiler awasi pemasukan dan pengeluaran, catat warna urine, konsentrasi , berat jenis , auskultasi bising usus, berikan cairan oral dan cairan IV dan elektrolit.
e.       Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh , adanya perforasi pada appendiks , prosedur  invasif, insisi bedah yang ditandai dengan adanya luka operasi. Hasil yang diharapkan meningkatkan penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi/inflamasi drainase purulen , demam. Rencana tindakan /intervensi yang dilakukan, awasi tanda – tanda vital, perhatikan demam, menggigil, berkeringat perubahan mental meningkatnya  nyeri abdomen, lakukan pencucian yang baik dan perawatan luka aseptic dan antiseptik, berikan perawatan paripurna , lihat insisi dan balutan catat karakteristik drainase luka, berikan informasi yang tepat jujur pada pasien/orang terdekat. Kolaborasi berikan antibotik sesuai dengan indikasi.
4.      Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien post operasi appendicitis mengacu pada rencana keperawatan yang sesuai dengan teori Doenges , ME meliputi : mempertahankan istirahat, mendorong ambulasi dini, memberikan intake cairan adekuat, mempertahankan keseimbangan cairan, memberikan informasi tentang prosedur pembedahan/prognosis, kebutuhan pengobatan dan potensial komplikasi, memberikan dukungan dan support, melakukan pencucian tangan yang baik, melakukan perawatan luka secara aseptic dan antiseptik.
Pada tahap pelaksanaan yang dilakukan adalah melaksanakan tindakan – tindakan keperawatan yang telah direncanakan dan dianjurkan dengan pendokumentasian semua tindakan yang telah dilakukan.
5.   Evaluasi
Fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang diberikan ( La ode gaffar, 1997 : 50 ). Evaluasi asuhan keperawatan adalah tahap akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Hasil akhir yang diharapkan dari perawatan pasien post operasi appendisitis adalah komplikasi dapat dicegah / minimal, nyeri terkontrol , prosedur bedah/prognosis, program terapi dapat dipahami, kecemasan pada pasien / keluarga dapat berkurang /teratasi, tidak terjadi inekfsi/keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi tujuan jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir semua tindakan yang dilakukan sekaligus disebut juga mengevaluasi tujuan jangka panjang


LP THYPOID

THYPOID
A.    Konsep  Dasar  Penyakit
1.        Pengertian
Pengertian typhoid fever dikemukakan oleh para ahli yang berkecimpung dalam dunia kedokteran khususnya yang mendalami penyakit dalam. Berikut ini penulis akan menyajikan beberapa pengertian dari typhoid fever.
Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella Thyposa dengan gejala demam 1 minggu atau lebih disertai gangguan pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Penularannya secara faeco oral melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi kuman salmonella (Devid Werner,1993)
Thypoid abdominalis (Demam Thypoid, Enteric Fever) ialah penyakit infeksi akugt yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran (FKUI, 2000).
Typhoid abdominalis adalah infeksi penyakit akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran (Suryadi, 2001).
Typhoid abdominalis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi atau Salmonella Paratyphii A, B dan C. Berdasarkan definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa typhoid fever adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typosa dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan bahkan gangguan kesadaran (Soedarto,1992) Penyebarannya melalui lima F yaitu :
1)             Feses (tinja)
2)             Flies (lalat)
3)             Food (makanan)
4)             Finger (jari tangan)
5)             Fomites (muntah)

2.        Etiologi

Penyebab penyakit typhoid fever secara umum adalah kuman Salmonella typhi yang merupakan kuman gram negatif dan tidak menghasilkan spora. Kuman Salmonella typhii ini dapat hidup baik pada suhu manusia (36 – 37oC) maupun pada suhu yang lebih rendah dari 36 oC, serta mati pada suhu 70 oC maupun oleh anti septik. Saat ini diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia. Salmonella typhii mempunyai tiga macam antigen yaitu:
1)        Antigen O = Ohne Hauch: somatic antigen (tidak menyebar)
2)        Antigen H = Hauch (menyebar) terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.
3)        Antigen V1 = kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis.
 

3.        Patofisiologi

Kuman Salmonella thyposa masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar. Setelah kuman masuk ke dalam mulut ketika orang makan dan minum, makanan masuk ke lambung dan bercampur dengan HCl. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian masuk ke usus halus yang mencapai jaringan limfoid plaque di ilium terminalis yang mengalami hipertropi. Jika bakteri masuk bersama-sama cairan, maka terjadi pengenceran asam lambung yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme penyebab penyakit. Daya hambat asam lambung ini juga akan menurun pada waktu terjadi pengosongan lambung, sehingga bakteri akan lebih leluasa masuk ke dalam usus penderita, memperbanyak diri dengan cepat, kemudian memasuki saluran limfe dan akhirnya mencapai aliran darah. Kuman Salmonella thyposa kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini Salmonella typhi masuk aliran darah melalui ductus thorasicus. Kuman-kuman Salmonella typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typhi  bersarang di plaque payeri, limfa, hati dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Demam disebabkan karena Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Adapun reaksi kuman terhadap tubuh manusia melakukan aktifitas terbesar pada sistem retikuloendotelial dan empedu dimana organ yang lebih dahulu diserang adalah usus.
Skema Patofisiologi Typhoid Fever

Salmonella typhosa

Saluran pencernaan

Diserap oleh usus halus

Bakteri memasuki aliran darah sistemik



                                                                                       Endotoksin

Kelenjar limfoid usus halus               hati          limpa     Demam

                Tukak                         Hepatogemali    splenomegali
 

Perdarahan dan perforasi           Nyeri perabaan                       
(Arief Mansjoer, 2002)

Pada hakikatnya aktifitas dari kuman Salmonella typhi dibagi menjadi empat tingkatan :
1.         Tingkat I
Merupakan masa inkubasi 10 – 14 hari, pada tingkat ini terjadi proliferasi dari susunan retikuloendotelial yang mempunyai sel mononukleus dimana sitoplasma yang mengandung eritrosit akan bereaksi dengan jaringan nekrotik atau kuman sampai membentuk sel yang dinamakan sel Typhoid. Akibat fagositosis tersebut jaringan limfoid akan melebar mengakibatkan pelebaran pembuluh darah, sehingga susunan retikuloendotelial yang terdapat pada sumsum tulang belakang dan  hemopoesis menjadi rusak akibatnya pembentukan leukosit menurun. Pada tingkat ini, bercak payeri, limphonoduli akibat hyperemi dan hiperplasi tampak membengkak dan menonjol ke atas permukaan selaput lendir.
2.         Tingkat II
Terjadi nekrosis jaringan lympoid yang membengkak dan mengeras seperti kerak. Oleh sebab itu tingkat ini disebut tingkat keropeng karena bentuknya seperti keropeng yang berwarna kuning kelabu.
3.         Tingkat III
Keropeng yang terdiri dari jaringan nekrosis dilepaskan sampai terbentuk tukak (ulkus) pada bercak tadi. Tukak tersebut lonjong memanjang menurut poros usus. Tepi tukak jelas dan menebal, ada yang dangkal, ada yang dalam sampai dasarnya menembus sub serosa bahkan sampai ke lapisan otot sehingga terjadi perforasi yang menyebabkan peritonitis dan syok.
4.       Tingkat IV
Disebut tingkat resolusi (pembersihan atau penyembuhan) jika tidak ada perforasi. Selain menyerang usus penyakit ini juga menyerang bagian lain seperti :
a.         Limfa sebagai akibat proliferasi susunan retikuloendotel dan hiperplasi, sel pulpa merah akan membesar (splenomegali) hati juga membesar (hepatomegali).
b.        Kandung empedu terserang karena kuman hidup dan masuk ke dalam kandung empedu sehingga menyebabkan kolesistitis.
c.         Pada ginjal menyebabkan degenerasi bengkak keruh, sehingga sel tubulus mengandung kuman, tubulus rusak dan glomerulus filtrasinya terhambat.
d.        Toxemia akan terjadi dan mengakibatkan perubahan pada otot seperti degenerasi hyalin pada dinding otot perut, diafragma dan otot betis.

 

4.     Tanda dan Gejala

a.                                                      Demam
Gejala timbul selama masa inkubasi sekitar dua minggu. Pada minggu pertama suhu berangsur naik dan febris bersifat remitten atau panas hanya pada waktu sore dan malam hari. Gejala panas tidak akan turun dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, kadang-kadang disertai dengan epistaksis.
b.         Tanda dan Gejala pada sistem Gastro Intestinal
1)      Bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor dan berselaput putih, hyperemi.
2)      Perut kembung, nyeri tekan
3)      Limfa membesar, lunak dan nyeri pada saat penekanan
4)      Pertama kali pasien mengalami diare, kemudian obstipasi
5)      Tanda-tanda dehidrasi
6)      Tanda-tanda perdarahan dan tanda-tanda shock
c.     Leukopeni
d.    Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran dari ringan sampai berat, pada umumnya apatis sampai samnolen bahkan dapat terjadi koma. Penurunan kesadaran ini disebabkan karena panas tubuh yang tinggi.
e.    Bradikardi
Peningkatan suhu tidak disertai dengan peningkatan nadi dimana seharusnya setiap kenaikan suhu 1oC diikuti dengan kenaikan nadi 10 – 15 x/menit, sedangkan pada penderita ini kenaikan nadi lebih rendah dari kenaikan suhu.


5.     Pemeriksaan Diagnostik   
  Pemeriksaan laboratorium
a.       Darah tepi
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif pada permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini sederhana dan mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana, tetapi hasilnya berguna untuk membantu untuk menentukan penyakitnya dengan cepat (adakalanya dilakukan pemeriksaan sumsum tulang tetapi sangat jarang sekali) bila hal itu dilakukan daerah yang akan dipungsi, dapat pada tibia, perlu dilakukan pembersihan ekstra kemudian dikompres dengan alkohol 70%.
b.      Darah untuk kultur (biakan empedu) dan widal.
            Biakan empedu untuk menemukan Salmonella thypii dan pemeriksaan widal merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan diagnosis typhoid fever secara pasti. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. (diperlukan darah sebanyak 5 cc untuk kultur atau widal).
1)      Biakan Empedu
Biakan empedu basil Salmonella thypii dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses, dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu, pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan untuk pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses dua kali berturut-turut digunakan untuk menentukan apakah pasien telah benar sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman (karier).
2)      Pemeriksaan Widal
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum pasien thypoid dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhii. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan pasien. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis karena  dapat tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau bila pasien telah lama sembuh. Pemeriksaan widal tidak selalu positif walaupun pasien sungguh-sungguh menderita typhoid fever (disebut negatif semu). Sebaliknya titer dapat positif semu karena keadaan sebagai berikut :
a)      Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil coli patogen pada usus.
b)      Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.
c)      Terdapatnya infeksi silang dengan rickettsia (weil felix).
d)     Akibat imunisasi secara alamiah, karena masuknya basil peroral pada keadaan infeksi subklinis.
Perlu diketahui bahwa ada jenis dari demam typhoid yang mempunyai gejala hampir sama, hanya dengan demam biasanya tidak terlalu tinggi (lebih ringan) ialah terdapat pada paratifoid A, B, C, untuk menemukan kuman penyebab perlu pemeriksaan darah seperti pasien typhoid biasa.

6.    Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
    1. Pemberian antibiotik; untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan:
1)        Kloramfenikol; dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg, diberikan selama demam dilanjutkan sampai dua hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 x 250 mg selama lima hari kemudian. Penelitian terakhir (Nelwan, dkk. di RSUP Persahabatan), penggunaan kloramfenikol masih memperlihatkan hasil penurunan suhu empat hari, sama seperti obat-obat terbaru dari jenis kuinolon.
2)        Ampisilin/Amoksilin; dosis 50 – 150 mg/kg BB, diberikan selama dua minggu.
3)        Kotrimoksazol; 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol-80 mg trimetoprim, diberikan selama dua minggu.
4)        Sefalosporin generasi II dan III. Di subbagian penyakit tropik dan infeksi FKUI-RSCM, pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan baik. Demam umumnya mereda pada hari ketiga atau menjelang hari keempat.
Regimen yang dipakai adalah :
a)      Seftriakson 4 gr/hari selama tiga hari
b)      Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
c)      Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama enam hari
d)     Ofloksasin 600 mg/hari selama tujuh hari
e)      Pefloksasin 400 mg/hari selama tujuh hari 
f)       Fleroksasin 400 mg/hari selama tujuh hari.

    1. Istirahat dan perawatan profesional; bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal tujuh hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Duduk dilakukan pada hari kedua bebas panas, berdiri dilakukan pada hari ketujuh bebas panas, berjalan dilakukan pada hari kesepuluh bebas panas. Mobilisasi dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan diri, kebersihan tempat tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.

c.          Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif)
Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi biasa sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan optimal.
Pada kasus perforasi intestinal dan rejatan septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada rejatan septik. Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan di atas.

7.    Pencegahan
Usaha pencegahan typhoid fever dibagi dalam :
a.          Usaha terhadap lingkungan hidup
1)      Penyediaan air minum atau bersih
2)      Pembuangan kotoran manusia yang higienis pada tempatnya
3)      Pemberantasan lalat dan senantiasa menutup makanan
4)      Pengawasan terhadap rumah makan dan penjual makanan
b.         Usaha terhadap manusia
1)      Pendidikan kesehatan terhadap masyarakat
2)      Menemukan dan atau mengawasi carier typhoid
3)      Imunisasi

 

8.    Komplikasi

Komplikasi demam typhoid dibagi dalam:
a.          Komplikasi Intestinal
1)        Perdarahan usus: perdarahan sedikit ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan bensidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda rejatan.
2)        Perforasi usus, timbul biasanya pada minggu kedua atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritonium yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
3)        Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defence musculair) dan nyeri pada tekanan.
4)        Ileus paralitik.

b.         Komplikasi ekstra intestinal
1)        Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (rejatan, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2)        Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3)        Komplikasi paru:  pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4)        Komplikasi hepar dan kandung kemih; hepatitis dan kolelitiasis.
5)        Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
6)        Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
7)        Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, miningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis, dan sindrom katatonia.

9.    Prognosis

Umumnya prognosis demam pada anak baik asal penderita cepat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat  seperti :
a.         Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinue.
b.         Kesadaran turun sekali seperti delirium, sopor atau koma.
c.         Terdapat komplikasi yang berat seperti dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkhopneumonia dan lain-lain.
d.        Keadaan gizi penderita anak (malnutrisi energi protein)
Relaps (kambuh)
Relaps adalah berulangnya gejala typhoid, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan kembali normal. Terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan, baik oleh obat maupun zat anti. Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibrosis.

B.     Konsep Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan adalah masalah yang dinamis dalam usaha memperbaiki atau memelihara pasien ke taraf yang optimal melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk mengenal dan membantu memenuhi kebutuhan pasien. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yaitu :
1.                                                                                                            Pengkajian
2.                                                                                                            Diagnosa keperawatan
3.                                                                                                            Perencanaan
4.                                                                                                            Pelaksanaan
5.                                                                                                            Evaluasi
Untuk dapat menerapkan proses keperawatan, seseorang memerlukan kecakapan dan ketrampilan proses keperawatan melalui:
1.        Kecakapan intelektual, seperti pengetahuan tentang kehidupan merupakan pengetahuan dasar yang memungkinkan seseorang mampu membuat keputusan-keputusan secara kritis di dalam memecahkan suatu persoalan.
2.        Ketrampilan dalam hubungan antar manusia akan mempermudah kita untuk mengadakan hubungan baik dengan individu, keluarga dan masyarakat maupun dengan anggota tim kesehatan yang lain.
3.        Ketrampilan dalam teknis keperawatan akan meningkatkan keberhasilan dalam menerapkan rencana keperawatan pasien secara menyeluruh.
Ada lima langkah-langkah dalam proses keperawatan :
1.        Pengkajian
Adalah adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Iyer et al., 1996). Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai kebutuhan individu. Oleh karena itu, pengkajian yang akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu, sebagaimana  yang telah ditentukan dalam standar praktik keperawatan dari ANA (American Nursing Association). Adapun langkah-langkah pengkajian meliputi:
a.             Pengumpulan data tentang pasien
Data-data yang perlu dikaji pada pasien dengan typhoid fever dikumpulkan melalui observasi, wawancara, pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi. Pertanyaan tentang keadaan lingkungan (keadaan pemukiman/perumahan, tempat kerja, sekolah, tempat umum, air, sosial ekonomi) dan perilaku (kebersihan diri, gaya hidup, dan perilaku terhadap upaya kesehatan) dapat memberikan informasi yang berharga.
b.            Pengelompokan data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dikelompokkan.
c.             Menganalisa data
Data yang telah dikelompokkan segera dianalisis sehingga didapati suatu kesimpulan yang dirumuskan ke dalam bentuk diagnosa keperawatan.
Fokus pengkajian menurut Marillyn E Doenges pada thypoid fever adalah sebagai berikut :
Aktivitas/ Istirahat
Gejala :
Tanda :

Keletihan, kelelahan, malaise
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari – hari karena keletihan, peningkatan suhu secara akut.
Sirkulasi
Gejala :
Tanda :

~
Dalam keadaan normal nadi dimana seharusnya setiap kenaikan suhu 1oC diikuti dengan kenaikan nadi 10 – 15 x/menit, sedangkan pada penderita ini kenaikan nadi lebih rendah dari kenaikan suhu.
Integritas Ego
Gejala :

Tanda :

Peningkatan faktor resiko, perubahan pola kegiatan/aktivitas
Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
Makanan/Cairan
Gejala :

Tanda :

Mual/Muntah, anoreksia, penurunan berat badan.
Turgor kulit buruk, sering berkeringat, penurunan berat badan, penurunan masa otot/ lemak sub kutan. 
Hygiene
Gejala :


Tanda :

Penurunan kemampuan melakukan aktivitas/ peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari – hari.
Kebersihan buruk, badan berbau.
Keamanan
Gejala :
Tanda :

Adanya infeksi berulang
~
Interaksi Sosial
Gejala :
Tanda :

Hubungan ketergantungan
Kelalaian huungan dengan orang lain/ anggota keluarga.

Sedangkan hal – hal yang perlu dianamesis / fokus pengkajian tumbuh kembang secara umum pada anak usia sekolah adalah sebagai berikut :
1)      Anamesis faktor pranatal dan perinatal
Merupakan faktor yang penting untuk mengetahui perkembangan anak. Anamesis harus menyagkut faktor resiko untuk terjadi gangguan perkembangan fisik dan mental anak, termasuk faktor resiko untuk buta, tuli, palsi serebralis. Anamesis juga menyangkut penyakit keturunan dan pakah ada perkawinan antara keluarga.   
2)      Riwayat kelahiran
Harus dibedakan antara bayi prematur dan yang lahir normal karena pada bayi prematur lebih cepat lahir dari kelahiran normal sehingga perlu diperhitungkan periode pertumbuhan untrauterin yang tidak sempat dilalui tersebut. Dan untuk kedepannya kemungkinan adanya komplikasi yang akan muncul berupa penyakit akibat periode pertumbuhan intrauterin yang cepat tadi. 
3)      Anamesis harus menyangkut faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan anak.
Misalnya saat kita mau meneliti tumbuh kembang anak yakni pada motoriknya maka harus ditanyakan berat badanya, karena erat hubungannya dengan dengan perkembangan motorik tersebut. Untuk menanyakan kemampuan menolong iri sendiri, mislanya makan, berpakaian dll harus pula ditanyakan apakah ibunya memberikan kesempatan pada anak untuk belajar di sekolah.
4)      Penyakit – penyakit yang dapat mempengaruhi rumbuh kembang dan malnutrisi.
5)      Anamesis kecepatan pertumbuhan anak.
Merupakan informasi yang penting yang harus itanyakan pada ibunya pada saat pertama kali datang. Anamesis yang teliti tentang “mileston” perkembangan anak, dapat diketahui tingkat perkembangan anak tersebu. Tidak selalu perkembangan anak mulus seprti pada teori, adakalanya perkembangan anak normal sampai umur tertentu, kemudian mengalami keterlambatan, ada juga yang mulainya terlambat atau karena sakit, perkembangan terhenti yang kemudia normal kembali.   
6)      Pola perkembangan anak dalam keluarga
 Anamesis tentang perkembangan anggota keluarga lainnya, karena ada kalanya perkembangan mototrik dalam keluarga tersebut dapat lebih cepat/lambat, demikian pula dengan perkembangan bicara atau kemampuan mengotrol buang air besar kecilnya. 
Dapat disimpulkan pula, bahwa dalam pengkajian anak sakit usia sekolah yang perlu diperhatikan dalam pengkajian meliputi anamesis, pemeriksaan antopometri dan pemeriksaan fisik, gejala klienis, dan pemeriksaan penunjang.
 



2.        Menegakkan diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan dibuat setelah data-data yang terkumpul di analisis. Diagnosa keperawatan adalah suatu pertanyaan yang menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, mencegah, atau merubah (Carpenito, 2000). Menurut Gordon (1976), mendefinisikan bahwa diagnosa keperawatan adalah “masalah kesehatan aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, dia mampu dan mempunyai kewenangan untuk memberikan tindakan keperawatan”. Kewenangan tersebut didasarkan pada standar praktek keperawatan dan etik keperawatan yang berlaku di Indonesia. NANDA menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah “ keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat”. Semua diagnosa keperawatan harus didukung oleh data, dimana menurut NANDA diartikan sebagai “definisi karakteristik”. Definisi karakteristik tersebut dinamakan “tanda dan gejala”. Tanda adalah sesuatu yang dapat diobservasi dan gejala adalah sesuatu yang dirasakan oleh pasien. Diagnosa keperawatan menurut Carpenito (2000) dapat dibedakan menjadi lima kategori yaitu :
a.       Diagnosa keperawatan bersifat aktual: menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai dengan data klinik yang ditemukan. Untuk menegakkan diagnosa keperawatan aktual harus ada unsur PES.
b.      Diagnosa keperawatan bersifat resiko: menjelaskan masalah kesehatan yang nyata akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi (Keliat, 1990). Untuk menegakkan diagnosa keperawatan resiko harus ada unsur PE (problem dan etiologi)
c.       Diagnosa keperawatan bersifat kemungkinan: menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan untuk memastikan masalah keperawatan kemungkinan. Pada keadaan ini masalah dan faktor pendukung belum ada tapi sudah ada faktor yang dapat menimbulkan masalah (Keliat, 1990). Untuk menegakkan diagnosa keperawatan kemungkinan harus ada unsur respon (problem) dan faktor yang mungkin dapat menimbulkan masalah tapi belum ada.
d.      Diagnosa keperawatan yang bersifat “Wellness”  adalah keputusan klinik tentang keadaan individu, keluarga, dan atau masyarakat dalam transisi dari tingkat sejahtera tertentu ke tingkat sejahtera yang lebih tinggi.
e.       Diagnosa keperawatan bersifat syndrom adalah diagnosa yang terdiri dari kelompok diagnosa keperawatan aktual dan resiko tinggi yang diperkirakan akan muncul/timbul karena suatu kejadian atau situasi tertentu.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus typhoid fever, yang diambil beberapa literatur yaitu Carpenito (1999; hal 192) dan Doenges (1999; hal 471), adalah sebagai berikut:
a.       Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan rangsangan endotoksin terhadap sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit terhadap jaringan yang meradang, perubahan pada regulasi temperatur, peningkatan tingkat metabolisme, penyakit.
b.      Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen) berhubungan dengan proses inflamasi usus; iritasi, perforasi.
c.       Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan intake inadekuat; disfungsi usus, abnormalitas metabolik, pembatasan makanan secara medik.
d.      Gangguan keseimbangan volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan; gangguan absorpsi cairan misalnya kehilangan fungsi kolon, status hipermetabolik misalnya inflamasi dan proses penyembuhan.
e.       Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
f.       Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis) berhubungan dengan invasi kuman menembus lumen usus.
g.      Kurang pengetahuan keluarga (kebutuhan belajar) mengenai penyakit, prognosis, pengobatan, dan perawatan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif.

3.    Perencanaan
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi (Iyer, Taptich, & Bernocchi-Losey, 1996). Langkah-langkah perencanaan meliputi :
a.       Menentukan prioritas masalah.
Dalam menentukan perencanaan perlu menyusun suatu “sistem” untuk menentukan diagnosa yang akan diambil tindakan pertama kali. Salah satu sistem yang bisa digunakan adalah hirarki “kebutuhan manusia” (Iyer et al., 1996).  Ada dua contoh hirarki yang bisa digunakan untuk menentukan prioritas perencanaan yaitu hirarki “ Masllow” dan hirarki “Kalish”.

2)      Menentukan tujuan dan kriteria hasil
Penulisan untuk kriteria hasil berdasarkan “SMART”. Tujuan yang direncanakan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda, tujuan keperawatan harus dapat diukur, khususnya tentang prilaku klien: dapat dilihat, didengar, diraba, dirasakan dan dibau/cium. Tujuan keperawatan harus dapat dicapai, dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan harus mempunyai waktu yang jelas.



3)      Menentukan rencana intervensi
Rencana intervensi adalah desain spesifik intervensi untuk membantu klien dalam mencapai kriteria hasil. Rencana tindakan dilaksanakan berdasarkan komponen penyebab dari diagnosa keperawatan. Oleh karena itu rencana didefinisikan sebagai suatu aktifitas yang diperlukan untuk membatasi faktor-faktor pendukung terhadap suatu permasalahan.
4)      Menuliskan rencana intervensi (dokumentasi)
Rencana tindakan yang terdapat pada karya tulis ini pada dasarnya disesuaikan dengan kondisi klien dan fasilitas yang ada serta disesuaikan dengan sumber buku yang ada tentang typhoid fever. Sesuai dengan diagnosa yang mungkin muncul maka intervensi yang diberikan sebagai berikut :
Diagnosa Keperawatan I Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan rangsangan endotoksin terhadap sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang, perubahan pada regulasi temperatur.
Tujuan: Suhu tubuh kembali normal.
Kriteria hasil : 
~        Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36 – 37,5oC), mukosa bibir lembab, turgor kulit baik.
~        Bebas dari kedinginan.
~        Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.
Rencana Tindakan:
1.1         Kaji tingkat kenaikan suhu tubuh dan perubahan yang menyertai.
Rasional: Suhu 38,9-41,1 oC menunjukkan proses infeksius akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis sehingga dapat ditentukan intervensi yang tepat.         
1.2         Beri kompres hangat pada daerah dahi, aksila dan lipat paha
Rasional: Kompres hangat dapat membantu mengurangi demam.
1.3         Monitor tanda vital setiap satu jam.
Rasional: Sebagai indikator perkembangan keadaan klien.
1.4         Anjurkan orang tua untuk memberi banyak minum.
Rasional: Intake cairan yang adekuat, membantu penurunan suhu tubuh serta mengganti jumlah cairan yang hilang melalui evaporasi.
1.5         Anjurkan orang tua untuk memakaikan pakaian yang tipis dan menyerap keringat serta membatasi jumlah selimut.
Rasional: Mempercepat proses evaporasi. Jumlah selimut perlu dibatasi untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
1.6         Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian antipiretik contoh paracetamol.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.

DX.II  Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen) berhubungan dengan proses inflamasi usus; perforasi.
Tujuan: Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
Kriteria hasil:
-          Tampak rileks dan mampu beristirahat dengan nyaman.
-          Mempraktekkan tindakan pereda nyeri non invasif untuk mengatasi nyeri.
Rencana Tindakan:
2.1    Kaji  lokasi, intensitas (skala 0-10), dan karakteristik nyeri (menetap, hilang timbul, kolik)
Rasional: Gambaran nyeri dapat diketahui baik secara subjektif maupun objektif, sehingga dapat ditentukan intervensi yang tepat. Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran penyakit/terjadinya komplikasi. 
2.2    Bantu klien untuk mengatur posisi senyaman mungkin.
Rasional: Posisi yang nyaman dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan tegangan abdomen.   
2.3    Ajarkan dan bantu klien dalam melakukan tehnik relaksasi.
Rasional: Membantu klien untuk beristirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian, sehingga menurunkan rasa nyeri dan ketidaknyamanan.
2.4    Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik bila nyeri berlanjut.
Rasional: Mengontrol nyeri/mengurangi nyeri untuk meningkatkan istirahat dan kenyamanan.

DX.III Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan intake inadekuat; disfungsi usus, abnormalitas metabolit, pembatasan makanan secara medik.
Tujuan: Mempertahankan berat badan/menunjukkan peningkatan berat badan bertahap sesuai tujuan.
Kriteria hasil:
~        Nilai laboratorium normal
~        Bebas tanda mal nutrisi
~        Merencanakan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi/membatasi gangguan gastro intestinal.
Rencana Tindakan :
3.1                      Kaji pola kebutuhan nutrisi klien
Rasional: Mengidentifikasi kekurangan/kebutuhan nutrisi klien untuk membantu memilih intervensi yang tepat.
3.2    Timbang berat badan setiap hari.
Rasional: Sebagai indikator pemenuhan kebutuhan nutrisi secara umum dan efektifitas pemberian terapi.
3.3        Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan berbau.
Rasional: Untuk meningkatkan nafsu makan atau menurunkan mual.
3.4         Berikan makanan selingan yang tersedia selama 24 jam.
Rasional: Membantu untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pemasukan.
3.5        Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.
Rasional: Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi klien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerja sama klien pada saat makan.
3.6        Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian nutrisi rendah serat dan cukup protein, lemak,  karbohidrat dan zat gizi lainnya.
Rasional: Diet rendah serat dapat memudahkan proses pencernaan makanan dan penyerapan oleh usus halus, sehingga mengurangi beban kerja usus halus.

DX.IV Gangguan keseimbangan volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan; gangguan absorpsi cairan misalnya kehilangan fungsi kolon, status hipermetabolik misalnya inflamasi, proses penyembuhan.
Tujuan: Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan
Keriteria hasil:
Haluaran urin adekuat dengan berat jenis normal
tanda vital stabil, membran mukosa lembab turgor kulit baik, dan pengisian kapiler cepat.
Rencana Tindakan :
4.1     Kaji tingkat dehidrasi yang dialami oleh klien.
Rasional:  Untuk mengetahui tingkat dehidrasi dan menentukan intervensi yang tepat.
4.2        Awasi jumlah dan tipe masukan cairan, ukur haluaran urine dengan akurat.
Rasional: Pasien tidak mengkonsumsi cairan sama sekali mengakibatkan dehidrasi atau mengganti cairan untuk masukan kalori yang berdampak pada keseimbangan elektrolit.
4.3        Anjurkan orang tua untuk memberi minum banyak (6-8 gelas/ 2000-2500 cc setiap hari).
Rasional: Mempertahankan keseimbangan cairan, mengurangi rasa haus, dan melembabkan membran mukosa.
4.4        Jelaskan pada orang tua pentingnya cairan bagi tubuh, terutama pada saat demam.
Rasional: Orang tua dapat mengerti dan kooperatif dalam intervensi keperawatan.
4.5        Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik dan cairan perparenteral.
Rasional: Mungkin diperlukan untuk mendukung atau memperbesar volume sirkulasi, terutama jika masukan oral tidak adekuat, mual/muntah terus berlanjut, dan diaforesis.

DX.V  Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan: Mendemonstrasikan peningkatan aktifitas yang dapat ditoleransi.
Kriteria hasil:
-          Mengungkapkan pengertian tentang aktifitas yang diperbolehkan dan dibatasi
-          Mengungkapkan pengertian tentang perlunya menyeimbangkan akftifitas dan waktu istirahat
-          Mengungkapkan berkurangnya kelemahan dan dapat beristirahat cukup dan hampir mampu melakukan kembali aktifitas sehari-hari yang memungkinkan.
Rencana Tindakan:
5.1        Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktifitas.
Rasional: Dapat diketahui kemampuan klien dalam aktifitas sehingga dapat ditentukan intervensi yang tepat.
5.2        Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan melakukan mobilisasi secara aktif.
Rasional: Untuk mempercepat proses penyembuhan, aktifitas perlu dibatasi dan ditingkatkan dengan perlahan sesuai dengan toleransi klien.
5.3        Jelaskan kepada orang tua tujuan dari immobilisasi selama perawatan anaknya.
Rasional: Orang tua dapat mengerti dan kooperatif dalam intervensi keperawatan.
5.4        Stimulasi anak dengan therapi bermain, dengan menggunakan permainan yang pasif selama bedrest.
Rasional: Bermain di Rumah Sakit membantu melanjutkan proses tumbuh kembang.

DX.VI Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis) berhubungan dengan invasi
            kuman menembus lumen usus.
Tujuan: Tidak terjadi komplikasi dan mencapai penyembuhan tepat pada waktunya.
Kriteria hasil:
-          Bebas dari demam, nyeri.
-          Tanda vital dalam batas normal
-          Nilai laboratorium normal
Rencana Tindakan :
6.1.      Kaji faktor yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi.
Rasional: Invasi kuman yang cepat menyebabkan terganggunya sistem organ yang lain sehingga dapat menyebabkan komplikasi.
6.2.      Ubah posisi berbaring pasien setiap satu jam.
Rasional: Meningkatkan kenyamanan, menurunkan resiko komplikasi dan menghindari dekubitus akibat penekanan pada daerah yang menonjol.
6.3.      Berikan penjelasan kepada keluarga mengenai faktor yang dapat menjadi komplikasi.
Rasional: Keluarga dapat mengerti dan kooperatif dalam intervensi keperawatan sehingga menurunkan resiko komplikasi.

DX.VII  Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif.
Tujuan: Menyatakan pemahaman proses penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan.
Kriteria hasil:
-          Mengungkapkan informasi akurat tentang diagnosa dan aturan pengobatan pada tingkatan kesiapan diri sendiri
-          Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan
-          Melakukan perubahan gaya hidup yang perlu dan berpartisipasi dalam aturan pengobatan
-          Mengidentifikasi atau menggunakan sumber yang tersedia dengan tepat.
Rencana Tindakan :
7.1  Kaji tingkat pengetahuan keluarga, termasuk berapa banyak informasi diperlukan.
Rasional : Membantu dalam menentukan intervensi terhadap pengetahuan orang tua termasuk informasi yang diperlukan.
7.2  Beri informasi tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan. Ulangi penjelasan bila diperlukan.
Rasional : Dapat meningkatkan pengetahuan orang tua  dalam perawatan anaknya.
7.3  Beri kesempatan kepada klien dan keluarga untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas.
Rasional: Memberi kesempatan kepada orang tua dan klien untuk mengetahui lebih banyak tentang penyakit.
7.4  Beri feedback/umpan balik terhadap pertanyaan yang diajukan oleh keluarga atau klien.
Rasional: Mengetahui tingkat pengetahuan atau pemahaman klien atau keluarga.

4.      Pelaksanaan / Implementasi
      Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik (Iyer et al., 1996). Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang menyangkut peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. Dalam melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan typhoid fever, harus terlebih dahulu dijelaskan pada pasien atau keluarganya tentang apa yang akan dilakukan dan tujuan dari tindakan tersebut. Implementasi diberikan sesuai dengan intervensi pada masing-masing diagnosa yang disesuaikan dengan kebutuhan klien saat itu.
5.      Evaluasi
      Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi  proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor “kealpaan” yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan (Ignatavicius & Bayne, 1994). Menurut Griffith & Christensen (1986) evaluasi sebagai sesuatu yang direncanakan, dan perbandingan yang sistematis pada status kesehatan klien. Dengan mengukur perkembangan klien dalam mencapai suatu tujuan, maka perawat bisa menentukan efektifitas tindakan keperawatan.
Komponen evaluasi dapat dibagi menjadi lima komponen (Pinnel & Meneses, 1986) yaitu :
a.                                                                                                                         Menentukan kriteria, standar dan pertanyaan evaluasi
b.                                                                                                                        Mengumpulkan data mengenai keadaan klien terbaru
c.                                                                                                                         Menganalisa dan membandingkan data terhadap kriteria dan standar
d.                                                                                                                        Merangkum hasil dan membuat kesimpulan
e.                                                                                                                         Melaksanakan tindakan yang sesuai berdasarkan kesimpulan.
Hasil akhir yang diinginkan dari pasien dengan typhoid fever meliputi tanda-tanda vital dalam batas normal, intake nutrisi adekuat dengan berat badan klien dalam batas normal, tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi, kebutuhan sehari-hari pasien terpenuhi, tidak terjadi gangguan mental atau kesadaran, dan klien atau keluarga mengerti/memahami  tentang penyakit dan perawatannya.