THYPOID
A.
Konsep Dasar
Penyakit
1.
Pengertian
Pengertian typhoid fever dikemukakan oleh para ahli yang
berkecimpung dalam dunia kedokteran khususnya yang mendalami penyakit dalam.
Berikut ini penulis akan menyajikan beberapa pengertian dari typhoid fever.
Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi usus halus yang
disebabkan oleh kuman Salmonella Thyposa dengan gejala demam 1 minggu atau
lebih disertai gangguan pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Penularannya secara faeco oral melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi
kuman salmonella (Devid Werner,1993)
Thypoid abdominalis (Demam Thypoid, Enteric Fever) ialah
penyakit infeksi akugt yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan
gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan
gangguan kesadaran (FKUI, 2000).
Typhoid abdominalis adalah infeksi penyakit akut yang
biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu
dan terdapat gangguan kesadaran (Suryadi, 2001).
Typhoid abdominalis adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh Salmonella typhi atau Salmonella Paratyphii A, B dan C.
Berdasarkan definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa typhoid fever adalah
penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typosa
dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan
bahkan gangguan kesadaran (Soedarto,1992) Penyebarannya melalui lima F yaitu :
1)
Feses (tinja)
2)
Flies (lalat)
3)
Food (makanan)
4)
Finger (jari tangan)
5)
Fomites (muntah)
2.
Etiologi
Penyebab penyakit typhoid fever secara umum
adalah kuman Salmonella typhi yang merupakan kuman gram negatif
dan tidak menghasilkan spora. Kuman Salmonella typhii ini dapat hidup
baik pada suhu manusia (36 – 37oC) maupun pada suhu yang lebih
rendah dari 36 oC, serta mati pada suhu 70 oC maupun oleh
anti septik. Saat ini diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia. Salmonella
typhii mempunyai tiga macam antigen yaitu:
1)
Antigen O = Ohne Hauch: somatic
antigen (tidak menyebar)
2)
Antigen H = Hauch (menyebar)
terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.
3)
Antigen V1 = kapsul; merupakan
kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis.
3.
Patofisiologi
Kuman Salmonella thyposa masuk ke dalam
tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar. Setelah kuman masuk ke
dalam mulut ketika orang makan dan minum, makanan masuk ke lambung dan
bercampur dengan HCl. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian
masuk ke usus halus yang mencapai jaringan limfoid plaque di ilium terminalis
yang mengalami hipertropi. Jika bakteri masuk bersama-sama cairan, maka terjadi
pengenceran asam lambung yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme
penyebab penyakit. Daya hambat asam lambung ini juga akan menurun pada waktu terjadi
pengosongan lambung, sehingga bakteri akan lebih leluasa masuk ke dalam usus
penderita, memperbanyak diri dengan cepat, kemudian memasuki saluran limfe dan
akhirnya mencapai aliran darah. Kuman Salmonella thyposa kemudian
menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe
mesenterial, yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar
limfe ini Salmonella typhi masuk aliran darah melalui ductus thorasicus.
Kuman-kuman Salmonella typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal
dari usus. Salmonella typhi
bersarang di plaque payeri, limfa, hati dan bagian-bagian lain sistem
retikuloendotelial. Demam disebabkan karena Salmonella typhi dan
endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang. Adapun reaksi kuman terhadap tubuh manusia melakukan
aktifitas terbesar pada sistem retikuloendotelial dan empedu dimana organ yang
lebih dahulu diserang adalah usus.
Skema
Patofisiologi Typhoid Fever
Salmonella typhosa
Saluran pencernaan
Diserap oleh usus halus
Bakteri memasuki aliran
darah sistemik
Endotoksin
Kelenjar limfoid usus
halus hati
limpa
Demam
Tukak Hepatogemali splenomegali
Perdarahan dan perforasi Nyeri perabaan
(Arief Mansjoer, 2002)
Pada hakikatnya aktifitas dari kuman Salmonella
typhi dibagi menjadi empat tingkatan :
1.
Tingkat I
Merupakan masa inkubasi 10 – 14 hari, pada tingkat ini terjadi
proliferasi dari susunan retikuloendotelial yang mempunyai sel mononukleus
dimana sitoplasma yang mengandung eritrosit akan bereaksi dengan jaringan
nekrotik atau kuman sampai membentuk sel yang dinamakan sel Typhoid. Akibat
fagositosis tersebut jaringan limfoid akan melebar mengakibatkan pelebaran
pembuluh darah, sehingga susunan retikuloendotelial yang terdapat pada sumsum
tulang belakang dan hemopoesis menjadi
rusak akibatnya pembentukan leukosit menurun. Pada tingkat ini, bercak payeri,
limphonoduli akibat hyperemi dan hiperplasi tampak membengkak dan menonjol ke
atas permukaan selaput lendir.
2.
Tingkat II
Terjadi nekrosis jaringan lympoid yang membengkak dan mengeras seperti
kerak. Oleh sebab itu tingkat ini disebut tingkat keropeng karena bentuknya
seperti keropeng yang berwarna kuning kelabu.
3.
Tingkat III
Keropeng yang terdiri dari jaringan nekrosis dilepaskan sampai
terbentuk tukak (ulkus) pada bercak tadi. Tukak tersebut lonjong memanjang
menurut poros usus. Tepi tukak jelas dan menebal, ada yang dangkal, ada yang
dalam sampai dasarnya menembus sub serosa bahkan sampai ke lapisan otot
sehingga terjadi perforasi yang menyebabkan peritonitis dan syok.
4.
Tingkat IV
Disebut tingkat resolusi (pembersihan atau penyembuhan) jika tidak ada
perforasi. Selain menyerang usus penyakit ini juga menyerang bagian lain
seperti :
a.
Limfa sebagai akibat proliferasi
susunan retikuloendotel dan hiperplasi, sel pulpa merah akan membesar
(splenomegali) hati juga membesar (hepatomegali).
b.
Kandung empedu terserang karena
kuman hidup dan masuk ke dalam kandung empedu sehingga menyebabkan kolesistitis.
c.
Pada ginjal menyebabkan degenerasi
bengkak keruh, sehingga sel tubulus mengandung kuman, tubulus rusak dan
glomerulus filtrasinya terhambat.
d.
Toxemia akan terjadi dan
mengakibatkan perubahan pada otot seperti degenerasi hyalin pada dinding otot perut,
diafragma dan otot betis.
4. Tanda dan
Gejala
a.
Demam
Gejala timbul selama masa inkubasi sekitar dua
minggu. Pada minggu pertama suhu berangsur naik dan febris bersifat remitten
atau panas hanya pada waktu sore dan malam hari. Gejala panas tidak akan turun
dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, kadang-kadang disertai
dengan epistaksis.
b.
Tanda dan Gejala pada sistem Gastro Intestinal
1)
Bibir kering dan pecah-pecah,
lidah kotor dan berselaput putih, hyperemi.
2)
Perut kembung, nyeri tekan
3)
Limfa membesar, lunak dan nyeri
pada saat penekanan
4)
Pertama kali pasien mengalami
diare, kemudian obstipasi
5)
Tanda-tanda dehidrasi
6)
Tanda-tanda perdarahan dan
tanda-tanda shock
c.
Leukopeni
d. Tingkat
kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran dari ringan
sampai berat, pada umumnya apatis sampai samnolen bahkan dapat terjadi koma.
Penurunan kesadaran ini disebabkan karena panas tubuh yang tinggi.
e. Bradikardi
Peningkatan suhu tidak disertai dengan
peningkatan nadi dimana seharusnya setiap kenaikan suhu 1oC diikuti
dengan kenaikan nadi 10 – 15 x/menit, sedangkan pada penderita ini kenaikan
nadi lebih rendah dari kenaikan suhu.
5. Pemeriksaan
Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium
a.
Darah tepi
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif
pada permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
Pemeriksaan darah tepi ini sederhana dan mudah dikerjakan di laboratorium yang
sederhana, tetapi hasilnya berguna untuk membantu untuk menentukan penyakitnya
dengan cepat (adakalanya dilakukan pemeriksaan sumsum tulang tetapi sangat
jarang sekali) bila hal itu dilakukan daerah yang akan dipungsi, dapat pada
tibia, perlu dilakukan pembersihan ekstra kemudian dikompres dengan alkohol
70%.
b.
Darah untuk kultur (biakan empedu)
dan widal.
Biakan empedu untuk
menemukan Salmonella thypii dan pemeriksaan widal merupakan pemeriksaan
yang dapat menentukan diagnosis typhoid fever secara pasti. Pemeriksaan ini
perlu dikerjakan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. (diperlukan
darah sebanyak 5 cc untuk kultur atau widal).
1)
Biakan Empedu
Biakan empedu basil Salmonella
thypii dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama sakit.
Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses, dan mungkin akan tetap
positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu, pemeriksaan yang positif dari
contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan untuk pemeriksaan
negatif dari contoh urin dan feses dua kali berturut-turut digunakan untuk
menentukan apakah pasien telah benar sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman
(karier).
2)
Pemeriksaan Widal
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum
pasien thypoid dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhii.
Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan
mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat diagnosis
yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai
1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk
membuat diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan
penyembuhan pasien. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis
karena dapat tetap tinggi setelah
mendapat imunisasi atau bila pasien telah lama sembuh. Pemeriksaan widal tidak
selalu positif walaupun pasien sungguh-sungguh menderita typhoid fever (disebut
negatif semu). Sebaliknya titer dapat positif semu karena keadaan sebagai
berikut :
a)
Titer O dan H tinggi karena
terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil coli patogen pada usus.
b)
Pada neonatus, zat anti tersebut
diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.
c)
Terdapatnya infeksi silang dengan
rickettsia (weil felix).
d)
Akibat imunisasi secara alamiah,
karena masuknya basil peroral pada keadaan infeksi subklinis.
Perlu diketahui bahwa ada jenis dari demam typhoid yang mempunyai
gejala hampir sama, hanya dengan demam biasanya tidak terlalu tinggi (lebih
ringan) ialah terdapat pada paratifoid A, B, C, untuk menemukan kuman penyebab
perlu pemeriksaan darah seperti pasien typhoid biasa.
6. Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi
penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
- Pemberian antibiotik; untuk
menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat
digunakan:
1)
Kloramfenikol; dosis hari pertama
4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg, diberikan selama demam dilanjutkan sampai
dua hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 x 250 mg selama lima
hari kemudian. Penelitian terakhir (Nelwan, dkk. di RSUP Persahabatan),
penggunaan kloramfenikol masih memperlihatkan hasil penurunan suhu empat hari,
sama seperti obat-obat terbaru dari jenis kuinolon.
2)
Ampisilin/Amoksilin; dosis 50 –
150 mg/kg BB, diberikan selama dua minggu.
3)
Kotrimoksazol; 2 x 2 tablet (1
tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol-80 mg trimetoprim, diberikan selama
dua minggu.
4)
Sefalosporin generasi II dan III.
Di subbagian penyakit tropik dan infeksi FKUI-RSCM, pemberian sefalosporin
berhasil mengatasi demam tifoid dengan baik. Demam umumnya mereda pada hari
ketiga atau menjelang hari keempat.
Regimen yang dipakai adalah :
a)
Seftriakson 4 gr/hari selama tiga
hari
b)
Norfloksasin 2 x 400 mg/hari
selama 14 hari
c)
Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari
selama enam hari
d)
Ofloksasin 600 mg/hari selama tujuh
hari
e)
Pefloksasin 400 mg/hari selama
tujuh hari
f)
Fleroksasin 400 mg/hari selama
tujuh hari.
- Istirahat dan perawatan profesional;
bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus
tirah baring absolut sampai minimal tujuh hari bebas demam atau kurang
lebih selama 14 hari. Duduk dilakukan pada hari kedua bebas panas,
berdiri dilakukan pada hari ketujuh bebas panas, berjalan dilakukan pada
hari kesepuluh bebas panas. Mobilisasi dilakukan bertahap sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan
diri, kebersihan tempat tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai oleh
pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah
untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air
kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan
retensi urin.
c.
Diet dan terapi penunjang
(simtomatis dan suportif)
Pertama pasien diberi diet bubur saring,
kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi biasa sesuai tingkat kesembuhan pasien.
Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu
nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar)
dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang
cukup untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga
keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan optimal.
Pada kasus perforasi intestinal dan rejatan
septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum
antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat
dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada rejatan septik.
Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan di atas.
7. Pencegahan
Usaha pencegahan typhoid fever dibagi dalam :
a.
Usaha terhadap lingkungan hidup
1)
Penyediaan air minum atau bersih
2)
Pembuangan kotoran manusia yang
higienis pada tempatnya
3)
Pemberantasan lalat dan senantiasa
menutup makanan
4)
Pengawasan terhadap rumah makan
dan penjual makanan
b.
Usaha terhadap manusia
1)
Pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat
2)
Menemukan dan atau mengawasi
carier typhoid
3)
Imunisasi
8. Komplikasi
Komplikasi demam typhoid dibagi dalam:
a.
Komplikasi Intestinal
1)
Perdarahan usus: perdarahan
sedikit ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan bensidin. Bila
perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri
perut dengan tanda-tanda rejatan.
2)
Perforasi usus, timbul biasanya
pada minggu kedua atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum.
Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat
udara di rongga peritonium yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
3)
Peritonitis, biasanya menyertai
perforasi tapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen
akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defence musculair)
dan nyeri pada tekanan.
4)
Ileus paralitik.
b.
Komplikasi ekstra intestinal
1)
Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan
sirkulasi perifer (rejatan, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2)
Komplikasi darah: anemia
hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata, dan
sindrom uremia hemolitik.
3)
Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4)
Komplikasi hepar dan kandung
kemih; hepatitis dan kolelitiasis.
5)
Komplikasi ginjal:
glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
6)
Komplikasi tulang: osteomielitis,
periostitis, spondilitis, dan artritis.
7)
Komplikasi neuropsikiatrik: delirium,
miningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre,
psikosis, dan sindrom katatonia.
9. Prognosis
Umumnya prognosis demam pada anak baik asal
penderita cepat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat adalah 6%.
Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang
berat seperti :
a.
Panas tinggi (hiperpireksia) atau
febris kontinue.
b.
Kesadaran turun sekali seperti
delirium, sopor atau koma.
c.
Terdapat komplikasi yang berat
seperti dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkhopneumonia dan lain-lain.
d.
Keadaan gizi penderita anak
(malnutrisi energi protein)
Relaps (kambuh)
Relaps adalah berulangnya gejala typhoid,
akan tetapi berlangsung lebih ringan dan singkat. Terjadi pada minggu kedua
setelah suhu badan kembali normal. Terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori,
relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat
dimusnahkan, baik oleh obat maupun zat anti. Mungkin terjadi pada waktu
penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan
jaringan-jaringan fibrosis.
B.
Konsep Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan adalah masalah yang dinamis dalam
usaha memperbaiki atau memelihara pasien ke taraf yang optimal melalui suatu
pendekatan yang sistematis untuk mengenal dan membantu memenuhi kebutuhan
pasien. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yaitu :
1.
Pengkajian
2.
Diagnosa
keperawatan
3.
Perencanaan
4.
Pelaksanaan
5.
Evaluasi
Untuk dapat menerapkan proses keperawatan, seseorang
memerlukan kecakapan dan ketrampilan proses keperawatan melalui:
1.
Kecakapan
intelektual, seperti pengetahuan tentang kehidupan merupakan pengetahuan dasar
yang memungkinkan seseorang mampu membuat keputusan-keputusan secara kritis di
dalam memecahkan suatu persoalan.
2.
Ketrampilan
dalam hubungan antar manusia akan mempermudah kita untuk mengadakan hubungan
baik dengan individu, keluarga dan masyarakat maupun dengan anggota tim
kesehatan yang lain.
3.
Ketrampilan
dalam teknis keperawatan akan meningkatkan keberhasilan dalam menerapkan
rencana keperawatan pasien secara menyeluruh.
Ada lima langkah-langkah dalam proses keperawatan :
1.
Pengkajian
Adalah adalah tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai
sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien
(Iyer et al., 1996). Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan
asuhan keperawatan sesuai kebutuhan individu. Oleh karena itu, pengkajian yang
akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan
suatu diagnosa keperawatan dan memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan
respon individu, sebagaimana yang telah
ditentukan dalam standar praktik keperawatan dari ANA (American Nursing
Association). Adapun langkah-langkah pengkajian meliputi:
a.
Pengumpulan
data tentang pasien
Data-data yang perlu dikaji pada pasien dengan
typhoid fever dikumpulkan melalui observasi, wawancara, pemeriksaan fisik dan
studi dokumentasi. Pertanyaan tentang keadaan lingkungan (keadaan
pemukiman/perumahan, tempat kerja, sekolah, tempat umum, air, sosial ekonomi)
dan perilaku (kebersihan diri, gaya hidup, dan perilaku terhadap upaya
kesehatan) dapat memberikan informasi yang berharga.
b.
Pengelompokan
data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya
dikelompokkan.
c.
Menganalisa
data
Data yang telah dikelompokkan segera dianalisis
sehingga didapati suatu kesimpulan yang dirumuskan ke dalam bentuk diagnosa
keperawatan.
Fokus pengkajian menurut Marillyn E Doenges pada
thypoid fever adalah sebagai berikut :
Aktivitas/
Istirahat
Gejala :
Tanda :
|
Keletihan, kelelahan, malaise
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari – hari
karena keletihan, peningkatan suhu secara akut.
|
Sirkulasi
Gejala :
Tanda :
|
~
Dalam keadaan normal nadi dimana seharusnya setiap kenaikan suhu 1oC
diikuti dengan kenaikan nadi 10 – 15 x/menit, sedangkan pada penderita ini
kenaikan nadi lebih rendah dari kenaikan suhu.
|
Integritas
Ego
Gejala :
Tanda :
|
Peningkatan faktor resiko, perubahan pola kegiatan/aktivitas
Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
|
Makanan/Cairan
Gejala :
Tanda :
|
Mual/Muntah, anoreksia, penurunan berat badan.
Turgor kulit buruk, sering berkeringat, penurunan berat badan,
penurunan masa otot/ lemak sub kutan.
|
Hygiene
Gejala :
Tanda :
|
Penurunan kemampuan melakukan aktivitas/ peningkatan kebutuhan
bantuan melakukan aktivitas sehari – hari.
Kebersihan buruk, badan berbau.
|
Keamanan
Gejala :
Tanda :
|
Adanya infeksi berulang
~
|
Interaksi
Sosial
Gejala :
Tanda :
|
Hubungan ketergantungan
Kelalaian huungan dengan orang lain/ anggota keluarga.
|
Sedangkan hal – hal yang perlu dianamesis / fokus
pengkajian tumbuh kembang secara umum pada anak usia sekolah adalah sebagai
berikut :
1) Anamesis faktor pranatal dan perinatal
Merupakan
faktor yang penting untuk mengetahui perkembangan anak. Anamesis harus
menyagkut faktor resiko untuk terjadi gangguan perkembangan fisik dan mental
anak, termasuk faktor resiko untuk buta, tuli, palsi serebralis. Anamesis juga
menyangkut penyakit keturunan dan pakah ada perkawinan antara keluarga.
2) Riwayat kelahiran
Harus
dibedakan antara bayi prematur dan yang lahir normal karena pada bayi prematur
lebih cepat lahir dari kelahiran normal sehingga perlu diperhitungkan periode
pertumbuhan untrauterin yang tidak sempat dilalui tersebut. Dan untuk
kedepannya kemungkinan adanya komplikasi yang akan muncul berupa penyakit
akibat periode pertumbuhan intrauterin yang cepat tadi.
3) Anamesis harus menyangkut faktor lingkungan
yang mempengaruhi perkembangan anak.
Misalnya
saat kita mau meneliti tumbuh kembang anak yakni pada motoriknya maka harus
ditanyakan berat badanya, karena erat hubungannya dengan dengan perkembangan
motorik tersebut. Untuk menanyakan kemampuan menolong iri sendiri, mislanya
makan, berpakaian dll harus pula ditanyakan apakah ibunya memberikan kesempatan
pada anak untuk belajar di sekolah.
4) Penyakit – penyakit yang dapat mempengaruhi
rumbuh kembang dan malnutrisi.
5) Anamesis kecepatan pertumbuhan anak.
Merupakan
informasi yang penting yang harus itanyakan pada ibunya pada saat pertama kali
datang. Anamesis yang teliti tentang “mileston” perkembangan anak, dapat
diketahui tingkat perkembangan anak tersebu. Tidak selalu perkembangan anak
mulus seprti pada teori, adakalanya perkembangan anak normal sampai umur
tertentu, kemudian mengalami keterlambatan, ada juga yang mulainya terlambat
atau karena sakit, perkembangan terhenti yang kemudia normal kembali.
6) Pola perkembangan anak dalam keluarga
Anamesis tentang perkembangan anggota keluarga
lainnya, karena ada kalanya perkembangan mototrik dalam keluarga tersebut dapat
lebih cepat/lambat, demikian pula dengan perkembangan bicara atau kemampuan
mengotrol buang air besar kecilnya.
Dapat disimpulkan pula, bahwa dalam pengkajian anak
sakit usia sekolah yang perlu diperhatikan dalam pengkajian meliputi anamesis,
pemeriksaan antopometri dan pemeriksaan fisik, gejala klienis, dan pemeriksaan
penunjang.
2.
Menegakkan
diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan dibuat setelah data-data yang
terkumpul di analisis. Diagnosa keperawatan adalah suatu pertanyaan yang
menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari
individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat
mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status
kesehatan menurunkan, mencegah, atau merubah (Carpenito, 2000). Menurut Gordon
(1976), mendefinisikan bahwa diagnosa keperawatan adalah “masalah kesehatan
aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, dia mampu
dan mempunyai kewenangan untuk memberikan tindakan keperawatan”. Kewenangan
tersebut didasarkan pada standar praktek keperawatan dan etik keperawatan yang
berlaku di Indonesia. NANDA menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah “
keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang
masalah kesehatan aktual atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi
keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan
perawat”. Semua diagnosa keperawatan harus didukung oleh data, dimana menurut
NANDA diartikan sebagai “definisi karakteristik”. Definisi karakteristik
tersebut dinamakan “tanda dan gejala”. Tanda adalah sesuatu yang dapat
diobservasi dan gejala adalah sesuatu yang dirasakan oleh pasien. Diagnosa
keperawatan menurut Carpenito (2000) dapat dibedakan menjadi lima kategori
yaitu :
a. Diagnosa keperawatan bersifat aktual:
menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai dengan data klinik yang ditemukan.
Untuk menegakkan diagnosa keperawatan aktual harus ada unsur PES.
b. Diagnosa keperawatan bersifat resiko:
menjelaskan masalah kesehatan yang nyata akan terjadi jika tidak dilakukan
intervensi (Keliat, 1990). Untuk menegakkan diagnosa keperawatan resiko harus
ada unsur PE (problem dan etiologi)
c. Diagnosa keperawatan bersifat kemungkinan:
menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan untuk memastikan masalah
keperawatan kemungkinan. Pada keadaan ini masalah dan faktor pendukung belum
ada tapi sudah ada faktor yang dapat menimbulkan masalah (Keliat, 1990). Untuk
menegakkan diagnosa keperawatan kemungkinan harus ada unsur respon (problem)
dan faktor yang mungkin dapat menimbulkan masalah tapi belum ada.
d. Diagnosa keperawatan yang bersifat
“Wellness” adalah keputusan klinik
tentang keadaan individu, keluarga, dan atau masyarakat dalam transisi dari
tingkat sejahtera tertentu ke tingkat sejahtera yang lebih tinggi.
e. Diagnosa keperawatan bersifat syndrom adalah
diagnosa yang terdiri dari kelompok diagnosa keperawatan aktual dan resiko
tinggi yang diperkirakan akan muncul/timbul karena suatu kejadian atau situasi
tertentu.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus
typhoid fever, yang diambil beberapa literatur yaitu Carpenito (1999; hal 192)
dan Doenges (1999; hal 471), adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan
rangsangan endotoksin terhadap sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit
terhadap jaringan yang meradang, perubahan pada regulasi temperatur,
peningkatan tingkat metabolisme, penyakit.
b. Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen)
berhubungan dengan proses inflamasi usus; iritasi, perforasi.
c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang
dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan intake inadekuat; disfungsi usus,
abnormalitas metabolik, pembatasan makanan secara medik.
d. Gangguan keseimbangan volume cairan
berhubungan dengan output yang berlebihan; gangguan absorpsi cairan misalnya kehilangan
fungsi kolon, status hipermetabolik misalnya inflamasi dan proses penyembuhan.
e. Intoleran aktifitas berhubungan dengan
kelemahan fisik.
f. Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis)
berhubungan dengan invasi kuman menembus lumen usus.
g. Kurang pengetahuan keluarga (kebutuhan
belajar) mengenai penyakit, prognosis, pengobatan, dan perawatan berhubungan
dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak
mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif.
3.
Perencanaan
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain
untuk mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi
pada diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa
keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi (Iyer, Taptich, & Bernocchi-Losey,
1996). Langkah-langkah perencanaan meliputi :
a. Menentukan prioritas masalah.
Dalam
menentukan perencanaan perlu menyusun suatu “sistem” untuk menentukan diagnosa
yang akan diambil tindakan pertama kali. Salah satu sistem yang bisa digunakan adalah
hirarki “kebutuhan manusia” (Iyer et al., 1996). Ada dua contoh hirarki yang bisa digunakan
untuk menentukan prioritas perencanaan yaitu hirarki “ Masllow” dan hirarki
“Kalish”.
2) Menentukan tujuan dan kriteria hasil
Penulisan untuk kriteria hasil berdasarkan “SMART”.
Tujuan yang direncanakan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda,
tujuan keperawatan harus dapat diukur, khususnya tentang prilaku klien: dapat
dilihat, didengar, diraba, dirasakan dan dibau/cium. Tujuan keperawatan harus
dapat dicapai, dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan harus mempunyai
waktu yang jelas.
3) Menentukan rencana intervensi
Rencana intervensi adalah desain spesifik intervensi
untuk membantu klien dalam mencapai kriteria hasil. Rencana tindakan
dilaksanakan berdasarkan komponen penyebab dari diagnosa keperawatan. Oleh
karena itu rencana didefinisikan sebagai suatu aktifitas yang diperlukan untuk
membatasi faktor-faktor pendukung terhadap suatu permasalahan.
4) Menuliskan rencana intervensi (dokumentasi)
Rencana tindakan yang terdapat pada karya tulis ini
pada dasarnya disesuaikan dengan kondisi klien dan fasilitas yang ada serta
disesuaikan dengan sumber buku yang ada tentang typhoid fever. Sesuai dengan
diagnosa yang mungkin muncul maka intervensi yang diberikan sebagai berikut :
Diagnosa Keperawatan I Peningkatan suhu tubuh
berhubungan dengan rangsangan endotoksin terhadap sintesa dan pelepasan zat
pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang, perubahan pada regulasi
temperatur.
Tujuan: Suhu tubuh
kembali normal.
Kriteria hasil :
~
Mendemonstrasikan
suhu dalam batas normal (36 – 37,5oC), mukosa bibir lembab, turgor
kulit baik.
~
Bebas
dari kedinginan.
~
Tidak
mengalami komplikasi yang berhubungan.
Rencana Tindakan:
1.1
Kaji
tingkat kenaikan suhu tubuh dan perubahan yang menyertai.
Rasional: Suhu 38,9-41,1 oC menunjukkan
proses infeksius akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis sehingga dapat
ditentukan intervensi yang tepat.
1.2
Beri
kompres hangat pada daerah dahi, aksila dan lipat paha
Rasional: Kompres hangat dapat membantu mengurangi
demam.
1.3
Monitor
tanda vital setiap satu jam.
Rasional: Sebagai indikator perkembangan keadaan
klien.
1.4
Anjurkan
orang tua untuk memberi banyak minum.
Rasional: Intake cairan yang adekuat, membantu
penurunan suhu tubuh serta mengganti jumlah cairan yang hilang melalui
evaporasi.
1.5
Anjurkan
orang tua untuk memakaikan pakaian yang tipis dan menyerap keringat serta
membatasi jumlah selimut.
Rasional: Mempercepat proses evaporasi. Jumlah
selimut perlu dibatasi untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
1.6
Kolaborasi
dengan tim medis untuk pemberian antipiretik contoh paracetamol.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan
aksi sentralnya pada hipotalamus.
DX.II
Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen) berhubungan dengan proses inflamasi
usus; perforasi.
Tujuan: Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
Kriteria hasil:
-
Tampak
rileks dan mampu beristirahat dengan nyaman.
-
Mempraktekkan
tindakan pereda nyeri non invasif untuk mengatasi nyeri.
Rencana
Tindakan:
2.1 Kaji
lokasi, intensitas (skala 0-10), dan karakteristik nyeri (menetap,
hilang timbul, kolik)
Rasional: Gambaran nyeri dapat diketahui baik secara
subjektif maupun objektif, sehingga dapat ditentukan intervensi yang tepat.
Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran
penyakit/terjadinya komplikasi.
2.2 Bantu klien untuk mengatur posisi senyaman
mungkin.
Rasional: Posisi yang nyaman dapat membantu
mengurangi rasa nyeri dan tegangan abdomen.
2.3 Ajarkan dan bantu klien dalam melakukan
tehnik relaksasi.
Rasional: Membantu klien untuk beristirahat lebih
efektif dan memfokuskan kembali perhatian,
sehingga menurunkan rasa nyeri dan ketidaknyamanan.
2.4 Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
analgetik bila nyeri berlanjut.
Rasional: Mengontrol nyeri/mengurangi nyeri untuk
meningkatkan istirahat dan kenyamanan.
DX.III Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang
dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan intake inadekuat; disfungsi usus,
abnormalitas metabolit, pembatasan makanan secara medik.
Tujuan: Mempertahankan berat badan/menunjukkan
peningkatan berat badan bertahap sesuai tujuan.
Kriteria hasil:
~
Nilai
laboratorium normal
~
Bebas
tanda mal nutrisi
~
Merencanakan
diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi/membatasi gangguan gastro intestinal.
Rencana Tindakan :
3.1
Kaji
pola kebutuhan nutrisi klien
Rasional: Mengidentifikasi
kekurangan/kebutuhan nutrisi
klien untuk membantu memilih intervensi yang tepat.
3.2 Timbang berat badan setiap hari.
Rasional: Sebagai indikator pemenuhan kebutuhan
nutrisi secara umum dan efektifitas pemberian terapi.
3.3
Berikan
suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan berbau.
Rasional: Untuk meningkatkan nafsu makan atau
menurunkan mual.
3.4
Berikan makanan selingan yang tersedia selama
24 jam.
Rasional: Membantu untuk memenuhi kebutuhan dan
meningkatkan pemasukan.
3.5
Berikan
makanan dalam porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.
Rasional: Meningkatkan proses pencernaan dan
toleransi klien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerja
sama klien pada saat makan.
3.6
Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk pemberian nutrisi rendah serat dan cukup protein,
lemak, karbohidrat dan zat gizi lainnya.
Rasional: Diet rendah serat dapat memudahkan proses
pencernaan makanan dan penyerapan oleh usus halus, sehingga mengurangi beban
kerja usus halus.
DX.IV Gangguan keseimbangan volume cairan
berhubungan dengan output yang berlebihan; gangguan absorpsi cairan misalnya
kehilangan fungsi kolon, status hipermetabolik misalnya inflamasi, proses
penyembuhan.
Tujuan: Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan
Keriteria hasil:
Haluaran urin adekuat dengan berat jenis normal
tanda vital stabil, membran mukosa lembab turgor
kulit baik, dan pengisian kapiler cepat.
Rencana Tindakan :
4.1 Kaji
tingkat dehidrasi yang dialami oleh klien.
Rasional:
Untuk mengetahui tingkat dehidrasi dan menentukan intervensi yang tepat.
4.2
Awasi
jumlah dan tipe masukan cairan, ukur haluaran urine dengan akurat.
Rasional: Pasien tidak mengkonsumsi cairan sama
sekali mengakibatkan dehidrasi atau mengganti cairan untuk masukan kalori yang
berdampak pada keseimbangan elektrolit.
4.3
Anjurkan
orang tua untuk memberi minum banyak (6-8 gelas/ 2000-2500 cc setiap hari).
Rasional: Mempertahankan keseimbangan cairan,
mengurangi rasa haus, dan melembabkan membran mukosa.
4.4
Jelaskan
pada orang tua pentingnya cairan bagi tubuh, terutama pada saat demam.
Rasional: Orang tua dapat mengerti dan kooperatif
dalam intervensi keperawatan.
4.5
Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian antipiretik dan cairan perparenteral.
Rasional: Mungkin diperlukan untuk mendukung atau
memperbesar volume sirkulasi, terutama jika masukan oral tidak adekuat,
mual/muntah terus berlanjut, dan diaforesis.
DX.V
Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan: Mendemonstrasikan peningkatan aktifitas yang
dapat ditoleransi.
Kriteria hasil:
-
Mengungkapkan
pengertian tentang aktifitas yang diperbolehkan dan dibatasi
-
Mengungkapkan
pengertian tentang perlunya menyeimbangkan akftifitas dan waktu istirahat
-
Mengungkapkan
berkurangnya kelemahan dan dapat beristirahat cukup dan hampir mampu melakukan
kembali aktifitas sehari-hari yang memungkinkan.
Rencana Tindakan:
5.1
Kaji
tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktifitas.
Rasional: Dapat diketahui kemampuan klien dalam
aktifitas sehingga dapat ditentukan intervensi yang tepat.
5.2
Bantu
klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan melakukan mobilisasi secara
aktif.
Rasional: Untuk mempercepat proses penyembuhan,
aktifitas perlu dibatasi dan ditingkatkan dengan perlahan sesuai dengan
toleransi klien.
5.3
Jelaskan
kepada orang tua tujuan dari immobilisasi selama perawatan anaknya.
Rasional: Orang tua dapat mengerti dan kooperatif
dalam intervensi keperawatan.
5.4
Stimulasi
anak dengan therapi bermain, dengan menggunakan permainan yang pasif selama
bedrest.
Rasional: Bermain di Rumah Sakit membantu
melanjutkan proses tumbuh kembang.
DX.VI Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis)
berhubungan dengan invasi
kuman menembus lumen usus.
Tujuan: Tidak terjadi komplikasi dan mencapai
penyembuhan tepat pada waktunya.
Kriteria hasil:
-
Bebas
dari demam, nyeri.
-
Tanda
vital dalam batas normal
-
Nilai
laboratorium normal
Rencana Tindakan :
6.1. Kaji faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya komplikasi.
Rasional: Invasi kuman yang cepat menyebabkan
terganggunya sistem organ yang lain sehingga dapat menyebabkan komplikasi.
6.2. Ubah posisi berbaring pasien setiap satu
jam.
Rasional: Meningkatkan kenyamanan, menurunkan resiko
komplikasi dan menghindari dekubitus akibat penekanan pada daerah yang
menonjol.
6.3. Berikan penjelasan kepada keluarga mengenai
faktor yang dapat menjadi komplikasi.
Rasional: Keluarga dapat mengerti dan kooperatif
dalam intervensi keperawatan sehingga menurunkan resiko komplikasi.
DX.VII Kurang
pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan
perawatan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi
informasi, tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif.
Tujuan: Menyatakan pemahaman proses penyakit,
prognosis, pengobatan dan perawatan.
Kriteria hasil:
-
Mengungkapkan
informasi akurat tentang diagnosa dan aturan pengobatan pada tingkatan kesiapan
diri sendiri
-
Melakukan
dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan
-
Melakukan
perubahan gaya hidup yang perlu dan berpartisipasi dalam aturan pengobatan
-
Mengidentifikasi
atau menggunakan sumber yang tersedia dengan tepat.
Rencana Tindakan :
7.1 Kaji tingkat pengetahuan keluarga, termasuk
berapa banyak informasi diperlukan.
Rasional : Membantu dalam menentukan intervensi
terhadap pengetahuan orang tua termasuk informasi yang diperlukan.
7.2 Beri informasi
tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan. Ulangi penjelasan
bila diperlukan.
Rasional : Dapat meningkatkan pengetahuan orang
tua dalam perawatan anaknya.
7.3 Beri kesempatan kepada klien dan keluarga untuk
menanyakan hal-hal yang belum jelas.
Rasional: Memberi kesempatan kepada orang tua dan
klien untuk mengetahui lebih banyak tentang penyakit.
7.4 Beri feedback/umpan
balik terhadap pertanyaan yang diajukan oleh keluarga atau klien.
Rasional: Mengetahui tingkat pengetahuan atau
pemahaman klien atau keluarga.
4.
Pelaksanaan / Implementasi
Pelaksanaan
adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik
(Iyer et al., 1996). Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang menyangkut peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. Dalam
melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan typhoid fever, harus
terlebih dahulu dijelaskan pada pasien atau keluarganya tentang apa yang akan
dilakukan dan tujuan dari tindakan tersebut. Implementasi diberikan sesuai
dengan intervensi pada masing-masing diagnosa yang disesuaikan dengan kebutuhan
klien saat itu.
5.
Evaluasi
Evaluasi
adalah tindakan intelektual untuk melengkapi
proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,
rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi
memungkinkan perawat untuk memonitor “kealpaan” yang terjadi selama tahap
pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan (Ignatavicius &
Bayne, 1994). Menurut Griffith & Christensen (1986) evaluasi sebagai
sesuatu yang direncanakan, dan perbandingan yang sistematis pada status
kesehatan klien. Dengan mengukur perkembangan klien dalam mencapai suatu
tujuan, maka perawat bisa menentukan efektifitas tindakan keperawatan.
Komponen evaluasi dapat dibagi menjadi lima komponen
(Pinnel & Meneses, 1986) yaitu :
a.
Menentukan
kriteria, standar dan pertanyaan evaluasi
b.
Mengumpulkan
data mengenai keadaan klien terbaru
c.
Menganalisa
dan membandingkan data terhadap kriteria dan standar
d.
Merangkum
hasil dan membuat kesimpulan
e.
Melaksanakan
tindakan yang sesuai berdasarkan kesimpulan.
Hasil akhir yang diinginkan dari pasien dengan
typhoid fever meliputi tanda-tanda vital dalam batas normal, intake nutrisi
adekuat dengan berat badan klien dalam batas normal, tidak terdapat tanda-tanda
dehidrasi, kebutuhan sehari-hari pasien terpenuhi, tidak terjadi gangguan
mental atau kesadaran, dan klien atau keluarga mengerti/memahami tentang penyakit dan perawatannya.